Tidak semua ikan yang ada di perairan Indonesia bisa dinikmati langsung oleh masyarakat Indonesia. Fakta tersebut dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di kawasan perkotaan dan jauh dari wilayah perairan laut. Ikan yang bernilai tinggi dan menjadi primadona ekspor, pasti akan sangat susah didapatkan oleh warga.

“Kalaupun bisa, ya itu harganya selangit alias mahal. Jadinya, ikan bernilai tinggi banyak dikirim untuk ekspor,” ucap Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati.

Pernyataan Susan tersebut, sekaligus menanggapi keberhasilan Perum Perikanan Indonesia (Perindo) yang sukses meneken kontrak dengan perusahaan Jepang untuk menyuplai ikan bernilai tinggi dan menjadi buruan warga dunia: yaitu Tuna. Bagi sebagian warga Indonesia, ikan Tuna adalah hal yang niscaya didapatkan. Perum Perindo adalah salah satu BUMN yang bergerak dalam sektor perikanan dan kelautan. Dalam beberapa tahun terakhir, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendorong BUMN itu untuk terus bergerak melayani wilayah antar pulau di seluruh Indonesia.

Tujuannya, agar produksi perikanan yang ada di daerah dan pulau bisa diserap oleh Perindo dan kemudian dipasarkan kepada yang memerlukan. Cara tersebut dinilai Menteri Kelautan dan Perikanan bisa membantu perekonomian nelayan dan perlahan akan meningkatkan kesejahteraan mereka. Susan Herawati menanggapi keberhasil itu, sebagai hal yang penuh kontradiksi. Mengingat, sesuai amanah wajib hukumnya bagi Negara untuk mengutamakan kebutuhan domestik sebelum diputuskan untuk diekspor ke negara lain. Amanat tersebut, memiliki tujuan mulia, yakni untuk menyejahterakan masyarakat dari pangan dan juga ekonomi.

“Tetapi hari ini kan terbalik, pasar ekspor lebih diutamakan ketimbang memenuhi kebutuhan domestik,” ucap dia.

Di sisi lain, Susan menambahkan, di saat Negara lebih mengutamakan pasar ekspor untuk sejumlah komoditas bernilai tinggi, di saat yang sama juga ada perubahan pola konsumsi di masyarakat. Perubahan itu yang tidak disadari oleh kita semua dan itu menjadi pemicu terjadinya keberpihakan kepada ekspor ketimbang pasar dalam negeri.

“Sekarang ini masyarakat kita lebih suka mengonsumsi makanan yang cepat disajikan, seperti mie instan dan sejenisnya. Padahal, ikan-ikan yang segar dan baik juga ada yang sudah dijual di pasar, dan sayangnya itu tidak direspon baik oleh masyarakat. Padahal, uang dari penjualan ikan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi nelayan juga,” tandasnya.

Direktur Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim memberikan pendapatnya, menurut dia, rata-rata konsumsi ikan nasional pada 2019 sudah mencapai 46,94 kilogram per kapita per tahun. Angka tersebut diperkirakan meningkat lagi pada 2020 menjadi 49,49 kg per kapita per tahun. Kenaikan itu, menjelaskan ada kesadaran dari masyarakat tentang pentingnya ikan untuk pertumbuhan dan kesehatan.

Halim menjelaskan, bahwa Pemerintah mendapatkan mandat untuk menjalankan usaha perikanan berdasarkan sistem bisnis perikanan. Sistem tersebut meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran. Dalam konteks inilah, Halim melanjutkan, pengelolaan pelabuhan perikanan sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang digunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan, menjadi sangat strategis.

“Sayangnya, dari 816 unit pelabuhan perikanan yang ada di Indonesia, hanya 483 pelabuhan yang dinyatakan layak operasi. Sementara, sisanya sebanyak 333” ujar Halim.

Fakta tersebut, menurut Halim, menunjukkan bahwa keberadaan pelabuhan perikanan sebagai sentra ekonomi perikanan rakyat belum menjadi prioritas utama pemerintahan, baik dari sisi fasilitas penunjang mau pun tata kelolanya. Untuk itu, harus ada upaya untuk menjadikan pelabuhan sebagai sentra perikanan rakyat.

Diketahui, pada 22-23 Agustus lalu, Perum Perindo menandatangani kontrak jual beli ikan tuna dengan volume 600 ton senilai USD3,3 juta. Kerja sama itu dilakukan Perindo dengan perusahaan Jepang, Musashi Industry Co Ltd. Adapun, produk ikan tuna yang diperdagangkan nantinya adalah ikan tuna loin skinless. Direktur Utama Perum Perindo Risyanto Suanda menjelaskan, untuk memenuhi pasokan tuna untuk dikirim ke perusahaan tersebut, pihaknya akan memanfaatkan sumber daya yang ada di Bacan, Ternate (Maluku Utara), Tahuna (Sulawesi Utara), dan Sorong (Papua Barat). Dia optimis, kebutuhan akan terpenuhi dari daerah yang disebut.

“Kami optimistis mampu memenuhi permintaan dari Musashi Industry maupun perusahaan jepang lainnya,” kata dia dalam keterangan resmi yang dirilis Perindo di laman resmi mereka.

Masih banyak masyarakat yang belum tau bagusnya kandungan gizi yang ada pada ikan tuna untuk tubuh, diantaranya ialah untuk Menurunkan kolesterol jahat, Mengurangi risiko penyakit jantung, Mendukung kesehatan mata dan otak dan sebagainya. Karena hal ini lah ikan Tuna mendapat predikat ikan primadona didalam masyarakat Indonesia maupun luar Negri. Untuk harganya sendiri, Di Indonesia, harga 1 kg tuna bisa mencapai Rp. 45.000,- hingga Rp. 52.000,-. Bahkan di Jepang, jenis tuna sirip biru ada yang dijual hingga mencapai 7 miliar. Cukup mahal, bukan? Harga ini tentu nya sesuai dengan kandungan gizi yang akan kamu peroleh jika mengkonsumsi nya. Jadi tidak perlu khawatir terkait harga dari ikan ini. Ledgernow hadir untuk membantu para nelayan dalam proses pembudidayaan, pengolahan, serta pendistribusian ikan tuna agar bisa sampai dengan aman kepada para konsumen. Dengan Ledgernow, kualitas ikan Tuna pasti akan jauh lebih baik. Bagaimana Ledgernow melakukannya? Yuk cari tahu info selengkapnya disini https://www.ledgernow.com/